Selasa, 30 November 2010

MENJADI MUSLIM DERMAWAN

Saudaraku,
Kehidupan di dunia ini bukanlah sebuah sandiwara yang dapat ditentukan dan dipilih sesuka hati peranan apa yang musti dimainkan. Seorang pemain sandiwara yang hebat bukanlah karena ia memainkan peranan utama dalam pertunjukannya, tetapi karena ia  memberiikan kontribusi bagi suksesnya pentas sandiwara secara keseluruhan.  Tetapi jika seorang pemain sandiwara senang berkeluh kesah dengan peran yang dimainkan, maka pertunjukannya akan terlihat buruk.

Demikian pula dengan kehidupan di dunia. Sungguh manusia tidak memiliki kuasa untuk menentukan takdir bagi dirinya sendiri. Apa yang ditentukan oleh Allah bagi manusia, harus mampu diberdayakan oleh dirinya sendiri sebagai kekuatan dalam kehidupannya. Ketentuan yang menetapkan kondisi social yang berbeda-beda diantara makluk-Nya sepatutnya tidak membuat manusia berkeluh kesah tentang beban kehidupan yang dipikulnya.  

Allah SWT telah berfirman, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat haluu'a (keluh kesah lagi kikir). Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang mengerjakan salat. Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (QS. Al-Ma'aarij: 19-25).

Ayat ini menerangkan kecenderungan manusia bersikap haluu'a. Apakah itu? Ia ditafsirkan dengan arti sebuah perangai buruk yang suka berkeluh kesah lagi kikir. Ketika ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah berputus asa. Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu, kikir dari hak Allah dan kikir dari hak sesama.

Tentu tidak semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. Dengan salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat perbuatan keji dan mungkar dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg dan benar, ia tidak gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan baginya mengandung hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai nikmat, seperti perkataan Abu Dzar al-Ghifari, "Miskin lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat."

Seorang muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang mukmin menyadari pada hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (al-mahruum). "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa." As-sail adalah orang yang meminta. Terhadap orang semacam ini terdapat hak bagi dia, seperti dalam sabda Rasulullah saw., "Bagi orang yang meminta-minta terdapat hak, meskipun ia datang mengendarai kuda." (HR Abu Dawud dari hadis Sufyan ats-Tsauri, dalam riwayat lain disandarkan kepada Ali bin Abu Thalib).

Adapun al-mahrum, seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk. Ia tidak memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah pernah bersabda, "Orang miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena, seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat berikut.
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: 'Ya Rabku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh." (QS. Al-Munafiqun: 10).

Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Manakah yang lebih kalian cintai: harta ahli waris atau harta sendiri?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, tentu tidak seorang pun di antara kita kecuali lebih mencintai hartanya sendiri." Rasulullah meneruskan, "Sesungguhnya harta seseorang ialah apa yang telah ia gunakan, dan harta ahli waris adalah apa yang belum ia gunakan." (HR Bukhari).

Abu Bakar al-Jazairi menceritakan sebuah kisah yang mengagumkan di dalam Minhajul Muslim Dikisahkan bahwa Ibunda Aisyah r.a. mendapat kiriman uang sebanyak 180.000 dirham dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh beliau uang itu disimpan di mangkuk dan dibagikan kepada manusia hingga tak tersisa. Pada sore harinya, Aisyah berkata kepada budak wanitanya, "Antarkan makanan berbuka untukku." Budak wanita tersebut menghidangkan roti dan minyak kepada Aisyah. Beliau berkata kepada budak, "Mengapa engkau tidak mengambil uang satu dirham dari uang yang aku bagikan tadi buat membeli daging untuk buka puasa kita?" Budak tersebut menjawab, "Jika engkau mengingatkanku sejak tadi, aku pasti melakukan."

Dalam kekiniian, betapa banyak kita temukan dua tipe masusia di atas. Tipe orang muskin meminta-minta karena kondisi memaksa, juga tipe orang yang tidak memiliki kekayaan, penghasilan, pekerjaan, namun ia enggan untuk meminta. Terhadap tipe pertama, akan lebih mudah bagi kita untuk mengetahuinya, namun terhadap tipe kedua, diperlukan sedikit perhatian untuk mengetahuinya. Di sinilah perlunya sikap peka terhadap lingkungan. Budaya modernisme sering berdampak pada menjadikan orang berperilaku egois, tidak mengenal tetangga, tidak mengenal lingkungan. Setiap hari ia makan enak, namun ia tidak mengetahui bahwa orang-orang di sekitarnya tengah kelaparan.

Terlebih al-mahrum, tidak mesti mereka kelompok marginal yang tidak mampu bekerja. Kadang mereka kelompok profesional yang tidak tertopang situasi dan sarana yang mendukung untuk bekerja, seperti tidak adanya lapangan pekerjaan atau tertimpa bencana perang. Dalam konteks ini, perlu aktualisasi kedermawanan bagi muslim yang "kuat", tentu tidak sekadar berpikir memberi ikan, melainkan harus juga berpikir bagaimana memberi kail.

Saudaraku,…
Semoga kita mampu memperoleh kebahagiaan dan kesenangan berbuat kebajikan terhadap sesama manusia. Amiin!


Rabu, 24 November 2010

MENEGAKKAN KEADILAN


Saudaraku,...
Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan banyak orang saat ini. Kata keadilan memiliki berbagai macam definisi menurut persepsi masing-masing. Mereka berusaha menuntut keadilan ditegakkan bagi mereka atas orang-orang yang telah menindas mereka, atau merampas sesuatu yang menjadi milik mereka dan lain sebagainya. Kemudian, kejaksaan berusaha tampil ke depan sebagai pemberi harapan bagi pernuntut keadilan dengan menuntut para pelanggar keadilan dan hak-hak orang lain dengan tuntutan yang seadil-adilnya menurut persepsi mereka. Hakim pun tak kalah sigap dalam bersaing dengan yang lain untuk tampil sebagai penegak keadilan, bahkan mereka berada pada posisi vital tegaknya keadilan. Merekalah ujung tombak penegak keadilan.

Namun, nyatanya banyak yang kecewa. Keputusan hakim tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat suatu perkara. Ini juga tak lepas dari perbedaan definisi keadilan dalam pandangan masing-masing orang, serta beda pendapat tentang kadar suatu hukuman yang benar-benar adil. Itulah jadinya, kalau manusia menuruti hawa nafsunya dan berpaling dari hukum Allah. Mereka terus akan berselisih tanpa henti. Menolak hukum Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yang baik dan adil bagi hamba-Nya adalah suatu kesombongan di hadapan Allah. Maka, seharusnyalah orang-orang yang beriman menegakkan keadilan karena Allah, juga menjadi saksi karena Allah. Karena jika hal itu dilakukan karena selain Allah, maka niscaya keadilan tidak akan pernah tegak.

Salah satu elemen yang tak bisa diabaikan dalam penegakkan hukum dan keadilan adalah saksi. Perannya mungkin tak terlalu menonjol dibanding yang lain, namun pengaruhnya terhadap tegaknya keadilan tidak bisa diabaikan begitu saja. Bukankah keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para saksi? Bukankah banyak kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran? Bukankah banyak saksi yang telah mengubah kesaksiannya hanya karena selembar cek?

Karena itulah, Allah menyeru orang-orang beriman dengan sebutan orang-orang yang beriman, karena dengan begitu orang-orang yang benar-benar beriman merasa mendapat suatu penghormatan dari Allah yang juga mengandung unsur pengakuan Allah terhadap iman mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih patuh akan perintah yang akan diberikan Allah setelah seruan itu. Perintah pertama adalah menegakkan keadilan karena Allah, kedua adalah menjadi saksi juga karena Allah. Meskipun dapat berakibat buruk pada diri sendiri, selama itu merupakan kebenaran, maka kesaksian itu harus dilakukan. Bahkan, meskipun kesaksian itu akan menyebabkan orang tua atau kerabat saksi itu mendapat kesusahan atau hukuman, kesaksian itu harus tetap dilakukan karena Allah semata. Penyebutan diri sendiri, orang tua, dan kerabat dalam ayat ini mengandung makna yang sangat dalam dan tegas. Hal itu karena diri sendiri tentunya setiap orang mencintainya walaupun tidak semua tahu bagaimana mencitainya. Rasa cinta dan sayang pada diri sendiri inilah yang biasanya menghalangi seseorang mengatakan kebenaran yang jika ia katakan akan berakibat buruk baginya. Begitu juga cinta dan sayang pada orang tua dan karib kerabat, menyebabkan seseorang enggan menegakkan keadilan terhadap mereka atau bersaksi menentang mereka. Seseorang akan lebih mudah bersaksi terhadap orang lain dibanding orang tua atau keluarganya.

Begitu juga jika terdakwa adalah orang kaya atau miskin, kesaksian itu tetap harus dilakukan. Alah melarang orang yang beriman berpaling dari kesaksian karena kekayaan seseorang, dan juga melarang mereka berpaling dari kesaksian karena kasihan terhadap kemiskinan seseorang.

Inilah fenomena yang umum di masyarakat kita saat ini. Banyak orang yang enggan, bahkan bersaksi palsu demi cintanya pada orang tua atau karib kerabatnya. Mereka tidak lagi takut kepada Allah, sehingga dengan mudahnya berbuat curang dan dusta. Banyak juga orang segan pada orang kaya hingga melalaikan mereka dari menegakkan keadilan terhadapnya. Baik karena telah dibeli dengan uangnya, atau karena takut pada anak buahnya, atau yang lainnya. Di lain pihak ada juga yang batal menegakkan keadilan atau kesaksian karena kasihan pada kemiskinan seseorang. Allah melarang semua ini karena hal itu belum tentu baik bagi orang kaya atau orang miskin tersebut. Karena Allah-lah yang paling mengetahui apa yang baik bagi mereka.

Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk berpaling dari keadilan karena menuruti hawa nafsu. Pengertian hawa nafsu di sini adalah karena selain Allah. Seperti karena kepentingan dunia dan segala aspeknya. Lalu, agar orang-orang yang beriman takut dari memuta balikkan kata-kata kesaksian atau enggan bersaksi karena suatu alasan, Allah memberikan ancaman-Nya terhadap yang berbuat demikian bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu pun yang dapat bersembunyi dari-Nya. Tidak ada satu pun yang dapat menghindar dari-Nya. Maka, sudah seharusnyalah seorang mukmin menegakkan keadilan dan kesaksian yang jujur karena Allah semata, dan meninggalkan larangan-Nya karena takut pada-Nya semata. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu sendiri. Semoga Allah SWT selalu menjaga kita dari segala keburukan yang ditimbulkan oleh dunia dan kebisingannya.

Rabu, 17 November 2010

INDAHNYA KEBAIKAN

Saudaraku,...
Dalam sebuah riwayat diceritakan Ali bin al-Husain memiliki hamba sahaya perempuan. Suatu hari sang budak menuangkan air wudhu untuknya. Tanpa disengaja, ceret, tempat air wudhu, jatuh menimba wajah Ali hingga terluka. Ali Zainal Abidin dengan marah menatap wajah sang budak. Merasa bersalah sang budak berkata, (mengutip surah Ali Imran ayat 134 yang menyebutkan kriteria orang bertakwa), "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Wal kaazimiinal ghaidl,' (Dan orang yang menahan amarahnya)."  Ali menjawab, "Aku telah menahan amarahku." Hamba sahaya berkata lagi, "Wal 'aafiina 'anin nas" (Dan orang-orang yang memberikan maafnya). Ali menimpali, "Semoga Allah memaafkan kamu." Ia berkata lagi, "Wallahu yuhibbul muhsiniin" (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan). Ali membalas, "Engkau telah kubebaskan karena Allah Azza wa Jalla."

Subhanallah! Sungguh sebuah sikap yang mengagumkan. Amarah yang berhenti dalam sekejab karena dibacakan ayat, disusul pemberiaan maaf, bahkan pembebasan budak karena dorongan berbuat ihsan. Tercermin sebuah kematangan emosi, pengagungan akan ayat Allah, dan sikap memilih dan melakukan yang terbaik (ahsanahu).

Itulah sikap seorang muslim yang sesungguhnya. Karena, Islam dibangun di atas tiga pilar: Islam, iman, dan ihsan. "Tadi adalah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan persoalan din kepada kalian." Itulah jawaban Rasulullah ketika malaikat datang dan bertanya perihal Islam, iman dan ihsan. Jadi, dinul Islam dibangun di atas ketiganya.

Perbuatan ihsan itu banyak bentuk dan ragamnya. Ihsan dalam hal ibadah, seperti jawaban Rasulullah saw. kepada Jibril, "Ihsan adalah hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." (HR Muslim). Ihsan dalam ibadah adalah adanya rasa selalu diawasi Allah Taala ketika menunaikannya, seolah ia melihat Allah, atau minimal merasakan bahwa Allah melihatnya. Untuk itu, harus dilakukan dengan menyempurnakan syarat, rukun, sunah dan tata-caranya. Karena, ibadah tidak akan dilihat oleh Allah jika menyelisihi tata-cara yang disyariatkan. Demikian ditulis oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Minhajul Muslim. Beliau juga menilis bentuk-bentuk berbuat ihsan dalam bidang muamalah, misalnya dengan berbuat baik kepada orang tua, sanak keluarga, anak yatim, orang miskin, musafir, pembantu, manusia secara umum dan hewan, seperti tersebut dibawah ini.

Berbuat baik kepada orang tua bisa dengan menaatinya, memberikan kebaikan kepada keduanya, tidak menyakiti keduanya, mendoakan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, melaksanakan wasiat-wasiat keduanya dan menghormati teman-teman keduanya.

Berbuat baik kepada sanak keluarga misalnya dengan menyayangi mereka, lemah lembut terhadap mereka, mengerjakan perbuatan baik bersama mereka, tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan mereka dan tidak menjelek-jelakkan ucapan mereka.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan menjaga harta mereka, melindungi hak-hak mereka, mendidik mereka, membina mereka, tidak menyakiti mereka, tidak memaksa mereka, ceria di depan mereka, dan mengusap kepala mereka.

Berbuat baik kepada orang-orang miskin adalah dengan menghilangkan kelaparan mereka, menutup aurat mereka, menganjurkan manusia memberi makan kepada mereka, tidak mencaci kehormatan mereka, tidak menghina mereka, dan tidak menimpakan kesusahan kepada mereka.

Berbuat baik kepada musafir ialah dengan memenuhi kebutuhannya, menutup aibnya, menjaga hartanya, melindungi kemuliannya, memberinya petunjuk jika ia meminta petunjuk, dan menunjukkannya jika tersesat.

Berbuat baik kepada pembantu adalah dengan menggajinya sebelum keringatnya kering, tidak menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan, menjaga kemuliaannya, dan menghormati kepribadiannya. Jika pembantu tersebut menetap di rumah yang dibantu, baginya memberi makan seperti yang ia makan, memberi pakaian seperti yang ia kenakan.

Berbuat baik kepada manusia secara umum antara lain dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang jahil di antara mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak mengganggu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka dan lain sebagainya.

Berbuat baik kepada hewan adalah dengan memberinya makan jika lapar, mengobatinya jika sakit, tidak membebani dengan muatan yang tidak mampu ditanggungnya, lemah lembut terhadapnya jika bekerja, dan mengistirahatkannya jika lelah.

Demikian saudaraku, bentuk-bentuk kebaikan. Semoga kita tergolong dalam barisan muhsinin yang dicintai Allah. Wallahu a'lam bish shawab.

Kamis, 11 November 2010

BERSEMBUNYI DARI ALLAH

Saudaraku,...
Sahabat Rasulullah Saw, Abdullah bin Abbas r.a., dalam sebuah riwayat pernah bercerita kepada para muridnya. "Ada seorang laki-laki pada zaman sebelum kalian, dia beribadah kepada Allah selama 80 tahun, kemudian dia terpeleset kepada suatu dosa, lalu dia pun takut atas dirinya karena dosa tersebut. Kemudian dia mendatangi hutan dan berkata: 'Wahai hutan yang banyak bebatuannya, yang lebat pepohonannya, yang banyak hewan-hewannya, Apakah engkau memiliki tempat bersembunyi bagiku dari Rabku?' Dengan ijin Allah hutan menjawab: 'Wahai manusia, demi Allah, tiada satu pun rumput maupun pohon dalam wilayahku, melainkan ada seorang malaikat yang diutus di sana, maka bagaimana aku hendak menyembunyikanmu dari Allah?' Laki-laki itu pun mendatangi laut dan berkata: 'Wahai laut yang melimpah airnya, yang banyak ikan-ikannya, Apakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari Rabku?' Maka laut pun menjawab: 'Wahai manusia, demi Allah tiada satu butir pasir pun atau binatang air pun kecuali disertai malaikat yang diutus, maka bagaimana aku hendak menyembunyikan dirimu dari Allah?' Laki-laki itu pun mendatangi gunung dan berkata: 'Wahai gunung yang tinggi menjulang langit, yang banyak gua-guanya, adakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari Rabku Tabaraka wa Taala?' Gunung menjawab: 'Demi Allah, tiada satu batu atau gua pun yang ada di wiliayahku kecuali ada malaikat yang diutus, bagaimana mungkin aku menyembunyikanmu'?"
                                                                                                           

Allah SWT adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan juga Maha Melihat. Tidak ada satu tempat pun yang dapat menyembunyikan kita dari pandangan Allah. Apapun yang kita lakukan baik itu kebaikan maupun kejahatan selalu pemgawasan Allah yang sangat teliti. Isu tentang perselingkuhan berjejal begitu banyaknya. Para pelakunya merasa asyik sepanjang tidak ketahuan istri atau suaminya. Korupsi dan kolusi merajalela di setiap lini dan tempat kerja, koruptor pun santai saja selagi petugas audit tidak mencium bau busuknya. Jumlah uang yang dilalap tak kepalang tanggung banyaknya. ICW menyebutkan, angka korupsi di tingkat DPRD masing-masing bernilai milyaran, tidak ada yang 'hanya jutaan'. Kumpul kebo dan perzinaan terjadi di mana-mana, terus menjadi rutinitas, selagi keluarga, orang tua, dan masyarakat tidak mendeteksi tindakan kotornya. Padahal, bisa saja mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak akan mampu bersembunyi dari Allah. Kemana mereka harus menghadapkan wajah mereka jika setiap arah yang mereka tuju dijaga para malaikat yang selalu setia kepada Tuhannya. Dan Allah pun tidak pernah lalai dalam pengawasan terhadap semua hamba-Nya.

Perbuatan maksiat terjadi karena adanya kemauan atau terbukanya peluang melakukannya. Namun, keduanya dapat dicegah secara sekaligus dengan mendekatkan diri kepada Allah. Mengapa demikian? Karena, dengan menjadikan diri kita dekat kepada Allah, pikiran dan angota tubuh kita akan memposisikan setiap indra kita dalam pengawasan Allah setiap saat. Hasilnya adalah pikiran kita membentuk opini bahwa tak ada tempat dan kesempatan yang memungkinkan kita berbuat dosa tanpa sepengetahuan-Nya. Otomatis kendurlah kemauan kita untuk berbuat dosa, meskipun tidak ada orang lain yang bersama kita, sebab Allah mengawasinya.

Tidak akan terlintas di benak pencuri untuk mengganyang mobil patroli yang diparkir di depan kantor polisi. Karena, ia sadar bahwa aksinya akan dengan mudah diketahui dan jeruji besi siap menantinya. Jika demikian, sudah selayaknya hamba yang cerdas tidak coba-coba menjamah wilayah dosa yang dilarang sang Pencipta. Karena, Allah takkan sedikit pun terlena dalam mengawasinya, sedangkan hukuman-Nya tidak hanya berupa jeruji besi, tetapi siksa yang tiada tara beratnya. Maka, merasakan pengawasan Allah adalah perisai utama yang menghalangi seseorang untuk berbuat dosa.

Mendekatkan diri kepada Allah juga menumbuhkan rasa malu untuk berbuat dosa kepada Allah. Manusia yang berekatan dengan Allah menyadari bahwa Allah yang memberikan segala nikmat kepadanya, juga memantau setiap gerak-geriknya. Tidak ada tempat bersembunyi dari-Nya agar dia bebas berbuat dosa. Malaikat yang menjaga di setiap bumi yang dia pijak akan menjadi saksi atas segala yang dilakukannya. Maka, bagaimana dia akan durhaka kepada-Nya di hadapan pengawasan-Nya. Yang dia lakukan bahkan sebaliknya, dia ingin agar Zat yang memberikan nikmat kepadanya melihat dirinya selalu dalam ketaatan kepada-Nya, sehingga Dia akan merasa rida.

Kesempurnaan mendekatkan diri kepada Allah diraih manakala seseorang juga menyadari bahwa setiap gerak, napas dan detik perbuatannya direkam dalam catatan malaikat. Kelak catatan itu akan diperlihatkan kepadanya. Terbuktilah bahwa tidak ada yang terlewat dari perbuatannya, semua tercatat detail di dalamnya. Tidakkah kita malu jika catatan perbuatan kita dibuka pada hari Kiamat, sementara di sana terdapat rekaman dosa yang kita kerjakan pada saat bersembunyi?

Muraqabatullah menyebabkan seseorang beramal ketika sendirian sama bagusnya dengan apa yang dia lakukan ketika bersama banyak orang. Alangkah bagusnya seorang muslim tatkala menyendiri, lalu dia merasakan bahwa malaikat tidak akan berpisah darinya, diutus untuk menulis kebaikannya. Maka, dia berkata kepada malaikat, "Tulislah (kebaikanku wahai malaikat), semoga Allah merahmati Anda," sehingga dia memenuhi lembaran kitabnya dengan kebaikan dan apa-apa yang bisa memperberat timbangannya.

Sebagian orang yang hatinya sakit, bahkan mati, mengira bahwa Allah tidak melihat mereka tatkala bermaksiat atau lengah dari apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka berdosa dengan tertawa. Apalagi jika hukuman atas dosanya tidak segera nampak di depan mata. Para pezina yang ‘aman’ dari penyakit kelamin, para pembunuh kaum muslimin, para penjahat dan pendosa, jangan disangka Allah membiarkan mereka. Allah tidak membiarkan para pendurhaka pendahulu mereka seperti kaum Luth, kaum Tsamud, kaum ‘Ad, maupun Fir’aun. Ingatlah. Allah sangat adil dalam membalas perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan perlindungan-Nya. Amiin!