Saudaraku,…
Kehidupan di dunia ini merupakan membutuhkan kedinamisan gerak. Seseorang yang tidak berbuat apapun untuk dunianya tidak akan memperoleh tempat yang layak di sana. Inilah esensi dari kehidupan yang sesungguhnya. Ingatlah, seseorang akan diakui keberadaanya kalau ia sudah berbuat sesuatu. Dan ini bukanlah urusan penghidupan dunia saja, saudaraku. Seorang muslim yang hendak mengharapkan kesenangan akhirat di sisi Allah SWT juga harus melakukan banyak kebaikan. Takdir seorang manusia, lebih-lebih seorang muslim bukanlah sekedar menjadi khalifah di bumi, lalu banyak menerima kebaikan dari Allah SWT. Allah SWT telah memberikan kita sumber daya alam yang berlimpah, pengetahuan yang tidak terbatas, dan kecerdasan yang mengagumkan. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita bekerja agar pilar-pilar agama kita tidak runtuh oleh kemiskinan.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan pada zaman dahulu hiduplah seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak. Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam perjalanan aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan". jawab al-Balkhi.
"Keanehan apa yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa. Tidak lama kemudian ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat", jawab al-Balkhi menceritakan.
"Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
"Maka aku pun berkesimpulan bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga", jawab al-Balkhi seraya bergumam.
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?"
Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "Wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Senada dengan kisah di atas, Rasulullah Muhammad Saw pernah bersabda, "Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri" (HR. Bukhari).
Saudaraku,..
Jika kita hendak melihat kehidupan Rasulullah Saw, maka ketahuilah beliau pun seseorang pekerja. Rasulullah Saw adalah seorang pedagang, panglima perang, negarawan, tokoh spiritual dan tentunya seorang kepala keluarga terbaik. Tidak ada contoh yang lebih baik selain apa yang melekat pada kehidupannya. Jika seorang kekasih Allah yang dijamin kemuliaan di dunia dan akhirat oleh Allah masih menyisakan waktu untuk bekerja, mengapa kita hanya berdiam diri menanti rejeki dari Allah SWT.
Orang yang tidak berusaha untuk kehidupan dunia bukanlah orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah. Mereka hanyalah pribadi-pribadi yang malas. Ingatlah saudaraku, kalau kita tidak berusaha untuk mengubah kehidupan kita, biar kita berdoa hingga mulut kita berbusa Allah tidak akan meridhainya. Allah SWT itu melihat apa yang kita perjuangkan, dan memberikan balasan yang baik setiap keringat dan peluh karena lelahnya bekerja. Dan ini berlakunya untuk seluruh hamba-Nya, baik yang mengesakan-Nya atau yang mengingkari keesaan-Nya.
Semoga kita kita memperoleh kemuliaan karena bekerja, dan semoga pula pertolongan dan kemudahan Allah selalu menyertai pekerjaan-pekerjaan kita. Amiin!