Jumat, 22 Desember 2017

COBA DITAHANIN JANGAN LANGSUNG MENCARI MANUSIA

Beragam tulisan Saudara yang Saudara kirimkan. Tidak sedikit yang menulis bahwa tidak kuat kalau jadi si tukang kaca. Ada yang menulis tentang kesabaran tanpa batas. Ada lagi yang menulis, ya meminjam sama orang kan ga ada salahnya. Yang salah adalah kalau kita niat ga mulangin. Kan keadaannya darurat. Yah, terserah aja. kan namanya juga pendapat. Namun untuk yang berpendapat bahwa biarkan saja istrinya meminjam, bahkan harusnya suami yang meminjam, sebagai kepala rumah tangga ya harus tanggung jawab, ikuti saja dulu kisah lanjutannya. Kiranya kesabaran, keyakinan, dan baik sangka Akan mengundang hadirnya Allah.

Banyak pelajaran nanti kita petik. Di antaranya ketahuanlah bahwa kita ini memang lemah. Asli lemah. Kita-kita orang ga mampu menahan penderitaan. Lebih ga mampu lagi menahan penderitaan sampe mentok. Gambaran kecilnya, orang sekarang jika dikasih sakit kepala sedikit saja, bukan Allah yang disebut. Tapi obat. Makin ada obat sakit kepala, makin ketergantungan tuh sama obat. Langsung saja dicari obat. Juarang sekali sekarang ini orang yang langsung menyebut asma Allah Yang Maha Menyembuhkan. Ia berdoa sejenak, lalu dibawa shalat, doa, dan mengaji. Jarang yang kemudian dibawa jalan keluar itu kaki lalu memberi kanan dan kiri bersedekah. Alasan ga kuat, pusing sekali, itu yang menyebabkan orang langsung minum obat, tidur, dan bangun berharap sudah dalam keadaan sembuh. Sakitnya, penderitaannya, tidak membawanya kepada Allah. Sayang. Okelah obat tidak ditinggal, tapi mbok ya jangan main obat saja. Bawa dulu ke Allah. Bahkan tanpa sadar, Allah yang menidurkan tanpa obat. Dan dalam tidurnya itulah kemudian bisa jadi Allah sembuhkan. Atau proses kesembuhannya terjadi di etape ia keluar rumah untuk bersedekah. Kepalanya lebih sibuk mencari orang yang susah untuk ia bagi. Sampe di tempat yang susah, ia malah bisa bercengkrama dengan yang susah. Lupa sama penyakitnya. Akhirnya tubuh berespon positif. Pulang-pulang malah sudah sembuh.

Tapi itulah kita. Mungkin tidak Saudara dan tidak juga saya. Padahal demi Allah, jika saja saya mau bawa wudhu, dan gelar sajadah. Lalu saya ruku yang lamaaaaaa, sujud yang lamaaaaaaa, dan kemudian membenamkan kepala di atas sajadah, bangun juga udah seger. Apalagi dibawa bertasbih, dibawa zikir, dibawa ngaji. Wuah, sungguh, kita tidak akan jadi orang cengeng. Tapi ya itu,pertanyaannya sederhana, siapa sekarang ini yang sanggup memilih “menderitakan diri dulu” seperti si tukang kaca?

Jika baru ga makan sekali, lalu langsung ngutang ke warung, wah, kayaknya koq kesempatan berdoa di saat lapar, agak-agak susah lagi didapat.

Gini ya, kita tidak bisa loh pura-pura lapar. Saat puasa saja, kita tetap merasa aman. Sebab kita tahu bahwa kita udah menyiapkan makanan dan minuman untuk berbuka. Doa meminta makanan, doa meminta Allah hadir, doa meminta pertolongan Allah, kurang manteb. Sebab keadaan kita sedang cukup. Saudara yang sedang berkecukupan harus mencari sisi doa yang lain hingga Saudara tetap merasa butuh Allah. Jika tidak, saya agak meragukan diri saya bahwa rasa perlu Allah itu masih tinggi.

Dalam kasus anak yang butuh uang sekolah, lalu kemudian ada motor. Bisa jadi Saudara kalah khusyu’ berdoa dengan yang tidak ada apa-apa dan anak terancam tidak kuliah. Tambah khusyu’ dan takut lagi, jika anak ini puinter dan sudah diterima di perguruan tinggi favorit. Saudara yang tidak punya apa-apa, kalau tidak segera ngebuang ke Allah, tidak segera menuju Allah, maka akan sayang tuh keadaan. Sebab keadaan begini tidak akan terulang lagi. Jika pertolongan Allah datang, maka subhaanallaah akan sungguh terasa. Tapi betul memang, siapa yang bisa tahan menderita? Siapa yang memilih bener-bener bertuhan Allah. Allahush-shomad aja. Ga tergoda minjem, ga tergoda meminta bantuan orang lain. Seribu informasi kita dapat tentang sahabat kita yang habis jual mobil, seribu informasi kita dapat tentang saudara kandung kita yang habis jual rumah, yang rasanya kalau kita datang akan dapat itu pertolongan, kita katakan tidak. Kepada Allah saja. Kalau memang Allah berkehendak, biar saja diaturkan pertemuan menurut kehendak-Nya, dan kedatangan mereka-mereka yang terlintas, juga menurut kehendak-Nya.
Dan kadang memang ujian sabar itu sering melewati batas. Wajar kemudian ada kalimat, sabar ada batasnya. Padahal sabar itu tidak ada batasnya.

Sampe waktu yang ditentukan tiba, tidak ada juga duit. Ya sudah, mau diapain. Pihak perguruan tinggi kemudian membatalkan penerimaan anak ini sebagai mahasiswa. Sebab persoalan administratif. Sampe sini, sejuta penyesalan bisa saja dikipasin syetan. Apalagi kemudian syetan datang dah… “Kenapa dulu ga datang saja ke saya,” begitu kata kawan kita yang habis jual mobil. “Padahal dulu saya habis jual rumah. Kaka ga ngomong sih…”, begitu juga kata adik kita yang habis jual rumah. Dan perkataan itu didengar anak kita lagi, atau didengar istri kita yang menyarankan jalan dan datang ke manusia yang lain. Kayaknya mah bener akan terjadi pergolakan batin dan keadaan.

Saudara yang dirahmati Allah. Sungguh perjalanan doa, kesabaran, kepasrahan, belom selesai, dan ga akan selesai. Sepanjang kita masih hidup, takdir akan teruuuuuuuus saja berjalan.

Di kajian-kajian berikut akan kita perdalam. Terima kasih atas tulisan-tulisan Saudara. Bagus-bagus. Terutama yang kemudian memberi support kepada si tukang kaca untuk maju terus. Ya, saya terharu. Ada yang menulis bahwa kalaupun malam itu tetap saja ga makan, sebab si tukang kaca ga bawa hasil pulang, masa iya sampe ketemu seminggu ga ketemu makan? He he he. Bener juga. Allah masa ga memberi makan orang? Dan bener juga, bahwa ada ayat di mana Allah Maha Tahu ambang batas kemampuan seseorang, dan tidak akan membebani seseorang dengan beban yang melebihi kapasitasnya.

Iya lah. Kita coba terus ikuti kajian doa ini. Sungguh, saya menyukai kajian ini. Sebab ini juga kaitannya dengan tauhid, iman, dan keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar doa.

“Wa idzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa-innii qoriiib… Dan jika hamba-Ku bertanya tentang diri-Ku, katakanlah Aku ini teramat dekat. Ujiibu da’watad-daa’i idzaa da’aanii falyastajiibuu lii wal-yu’minuu bii la’allahum yarsyuduun.. Aku mengabulkan permohonan doa orang yang berdoa kepada-Ku. Maka ikutilah seruan-Ku dan berimanlah kepada-Ku, agar mereka itu selalu mendapatkan petunjuk.” (Qs. al Baqarah: 186).


Tulisan ini ditulis oleh : Ustadz Yusuf Mansur





Jumat, 24 Februari 2017

TUJUH CIRI ANAK DURHAKA


Saudaraku,…
Berikut ini adalah tujuh cirri-ciri anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Pertama, mengatakan “ah” kepada orang tua dan mengeraskan suara di hadapan mereka ketika berselisih dan juga tidak memberikan nafkah kepada orang tua bila mereka membutuhkan.

Kedua, tidak melayani mereka dan berpaling darinya,lebih durhaka lagi bila menyuruh orang tua melayani dirinya dan mengumpat kedua orang tuanya di depan orang banyak dan menyebut-nyebut kekurangannya.

Ketiga, menajamkan tatapan mata kepada kedua orang tua ketika marah atau kesal kepada mereka berdua karena suatu hal.

Keempat, membuat kedua orang tua bersedih dengan melakukan sesuatu hal,meskipun sang anak berhak untuk melakukannya tapi ingat,hak kedua orang tua atas diri si anak lebih besar daripada hak si anak.

Kelima, malu mengakui kedua orang tuanya di hadapan orang banyak karena keadaan kedua orang tuanya yang miskin, berpenampilan kampungan,tidak berilmu,cacat atau alasan lainnya.

Keenam, tidak mau berdiri untuk menghormati orang tua dan mencium tangannya.

Ketujuh, duduk mendahului orang tuanya dan berbicara tanpa meminta izin saat memimpin majelis dimana orang tuanya hadir di majelis itu,ini sikap sombong dan takabur yang membuat orang tua terlecehkan dan marah.


"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka." (QS. Al-Israa' [17] : 23)

Semoga ALLAH memberikan kita anak sholeh dan sholeha, berbakti kepada orang tua dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Aamiin.

Ya ALLAH, ampuni kami semua beserta orang-orang yang mengucapkan 'Aamiin' di kolom komentar maupun yang tidak mengucapkannya, jikalau kami telah durhaka kepada kedua orang tua kami. Aamiin