Kita punya hutang sama Allah? Hutang
apaan? Hutang shalat dhuha 2 rakaat. Saban hari tuh hutang.
Ini adalah istilah saya saja.
Silahkan Saudara semua nanti berpikir. Jika ada benarnya, ya ikutin. Jika tidak
benar, ga usah diikutin.
Sekarang kita lihat nih 2 hadits
berikut ini:
Abu Dzar
meriwayatkan Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap pagi
hendaknya seluruh persendian kalian bersedekah. Setiap tasbih itu sedekah,
tahmid adalah sedekah, tahlil juga sedekah. Takbir merupakan sedekah, menyuruh
orang berbuat baik sedekah, melarang orang berbuat buruk sedekah. Dan semua itu
cukup dengan dua rakaat shalat dhuha.” (Hadits Shahih diriwayatkan Imam
Muslim).
Buraidah
pernah mendengar Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Manusia
mempunyai 360 persendian. Hendaklah setiap persendian bersedekah dengan satu
sedekah. Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan itu ya
Rasulallah? Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda menjawab,
“Bersedekahlah walau sekedar membersihkan ludah dari masjid dan membuang duri
dari jalan. Jika tidak mampu, maka cukup melaksanakan dua rakaat shalat dhuha.”
(hadits Shahih riwayat Ahmad).
Coba bulak balik baca itu dua hadits
yang saya kutip.
Manusia menempati sebidang tanah dan
yang dibangun di atasnya rumah, dengan uangnya sendiri, dengan keringatnya
sendiri. Tapi masya Allah, negara mengutip pajak atasnya. Pajak bumi dan
bangunan.
Jika sebidang tanah dan rumah itu
saja kita harus bayar ke manusia, bagaimana lagi kepada Allah yang telah
menganugerahkan bumi dan langitnya untuk kita?
Manusia makan dan minum, baik di
restoran secara langsung, maupun makan dan minum yang dibeli di pasar. Semua
ada pajaknya. Semua bayar. Bayar ke negara. Dan kita pun tanpa bayar ke negara,
ya bayar juga ke mereka yang menjualnya. Nah, nah, nah, aslinya semua
makanan dan minuman, milik siapa? Siapa yang menyediakan bahan bakunya? Siapa
yang memberikan fasilitas tangan dan kaki, otak untuk berpikir, waktu untuk
bekerja, kesehatan untuk beraktifitas, dan lain-lain karunia hingga manusia
bisa makan minum, bercocok tanam, dan berniaga? Semuanya adalah dari Allah.
Lalu bayar engga selama ini?
Seorang manusia gagal nafas.
Dibawalah ke rumah sakit dan diberikan nafas buatan. Diberikan oksigen.
Ternyata tidak sedikit rumah sakit yang tidak mau melakukan tindakan medis
tanpa ada yang bertanggung jawab. Hatta itu secarik kertas dari
pemerintah, atau KTP dari yang mengantarnya. Setelah dilakukan tindakan medis,
ada bayarannya yang harus dibayar pasien atau keluarga pasien.
Sedangkan Allah memberikan oksigen?
Free. Masya Allah. Bukan hanya oksigennya, tapi juga sistem alamnya yang
bekerja secara ajaib yang merupakan tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan Allah.
Sepasang mata yang diberikan oleh
manusia, rusak. Baik karena umur, atau karena penyakit misalnya. Lalu ia bawa
ke rumah sakit. Diberikanlah tindakan medis terhadap mata tersebut. Lah, bayar.
Sedang sama Allah yang ngasih mata yang dibetulin? Kaga bayar.
Maen ke pantai yang sudah dikelola
oleh swasta maupun pemerintah, bayar. Sedang dari rumah menuju pantai itu,
dengan segala Izin-Nya, tidak bayar. Sedangkan untuk jalanan yang dilalui oleh
manusia dan disebut “tol”, bayar. Bayarnya ga cukup sekali. Saban sambungan itu
tol, bayar. Lah, setiap sambungan ruas sendinya manusia? Kaga bayar.
Engga bakalan cukup lembaran demi
lembaran untuk mengingat, merekam, dan menulis ni’mat Allah. “… Laa
tuhshuuhaa…, engga akan bisa kalian menghitungnya.” (Qs. Ibroohiim: 34).
Lalu kita melihatlah tadi di
awal dua hadits dari Rasulullah. Ternyata… Hanya karena Kebaikan Allah lah kita
ini ga dikutip bayaran. Karena Kemurahan Allah lah kita ga dikutip bayaran.
Karena Allah tahu kita ga sanggup bayar juga lah Allah ga mengutip bayaran. Dan
memang Allah tidak butuh bayaran manusia. Tapi Allah pun “menuntut” manusia
untuk berterima kasih kepada-Nya. Saya kasih tanda kutip, sebab emang tuntutan
ini pun demi kepentingan manusia. Allah benar-benar ga perlu terima
kasihnya manusia. “… Dan jika kalian semua dan juga semua yang di bumi lupa
sama Allah, kufur sama Allah, menolak Allah, tidak berterima kasih kepada
Allah, membangkang terhadap Allah, maka ketahuilah Allah itu Maha Kaya Lagi
Maha Terpuji.” (Qs. Ibroohiim: 8).
Bahasa bahwa Allah menuntut manusia,
hanya menandakan kita ini benar-benar kudu berterima kasih. (Ah, tau dah.
Makin saya pikiran bahasa buat Saudara semua, makin kayaknya kudu dijelaskan.
Padahal kalimat begini, ga kudu dijelaskan kiranya. Udah jadi kepahaman umum).
Murah bener Allah menetapkan
“bayaran” atas manusia. Cukup dengan shalat dhuha 2 rakaat, udah cukup buat
kita ini “membayar” semua kewajiban sedekah. Padahal tadinya dituntut untuk
sedekah mulai dari bangun tidur, sampe tidur lagi, sampe bangun tidur lagi.
Masya Allah, yang dua rakaat ini pun menjadi perkara yang dilalaikan, dianggap
enteng, dianggap angin lalu, dianggap ga penting. Dan akhirnya memang ga
meluangkan waktu, ga mentingin, ga merluin.
Coba ya kita ajak diri kita, dan
keluarga kita untuk shalat dhuha. Berterima kasih kepada Allah atas segala
karunia-Nya. Seribu kali yang mengajak kerja adalah ayah kita sendiri,
saudara kita sendiri, sahabat kita sendiri, yang dengannya lalu kita bisa
mencari nafkah yang halal, namun kiranya mata kita harus bisa memandang bahwa
Allah lah yang sejatinya memberi pekerjaan buat kita, menyediakan pekerjaan
buat kita, membuat kita mampu bekerja, mengizinkan kita bekerja, dan
mengizinkan pula hasil pekerjaan itu bisa kita pakai dan ni’mati. Karenanya
kita memang “wajib” membayar-Nya, sesuai dengan apa yang disuruh-Nya. Enteng.
Ga berat. Cukup dengan shalat dhuha 2 rakaat dah. Tentunya satu, dengan tetap
memperhatikan dan mengerjakan shalat-shalat yang wajibnya. Dua, semakin banyak
bilangan rakaat dhuha yang dikerjakan, akan semakin baik lagi persembahan kita
untuk Allah.
***
Seorang sahabat yang memiliki sebuah
toko di Cipulir, datang mengadu. Habis sudah hartanya. Bahkan jika hartanya
habis pun, ia tidak punya cukup sisa untuk membayar hutangnya. Ia menyebutnya,
bukan saja jatuh bangkrut, tapi juga minus.
Ketika datang mengadu, selain
diajak bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan hidup, dan sehat. Pun
dimotivasi soal ibadah, semangat hidup, pantang menyerah, dan yakin bisa bayar
semua hutangnya dan balik jaya.
Di antara obrolan, diajak juga
kemudian bicara soal dosa besar. Dosa-dosa yang dilakukan oleh anak manusia,
menghalangi rizkinya. Semakin besar dosanya dan semakin banyak, akan semakin
besar penghalangnya dan semakin banyak juga penghalang rizkinya.
“Alhamdulillah Ustadz, dosa-dosa
besar tidak ada yang saya lakukan…”, begitu katanya.
Ya saya percaya.
“Soal shalat pegimana?”
“Alhamdulillah, soal shalat yang
wajib, saya ga pernah tinggal…”.
Iseng saya bertanya. “Kalo yang
sunnah…?”
“Ah itu. Kalo soal yang sunnah,
emang saya ga sempet…”
“Ga sempet, apa ga nyempetin…? Ga
nyempetin kali…?”
Dia tertawa kecil, “Iya.”
“Dhuha itu hutang. 2 rakaat
hutangnya setiap hari. Namanya juga hutang. Ada tagihan yang harian, mingguan,
tahunan, atau ada yang udah jatuh temponya. Mungkin Saudara sudah jatoh tempo.
Ditagihnya sebenernya udah dari setahun terakhir ini kali. Addaaaa aja
jalan-jalan bagi Allah mengambil apa yang menjadi hak-Nya, dan atau sekedar
mengurangi rizki kita. Nah, tagihan itu akhirnya emang harus ditutup dengan
penyitaan. Kan, meski kelihatannya yang mengambil adalah manusia; Saudara
ditipu, Saudara dibohongi, ada giro yang bolong sehingga bolong juga ke orang
lain, ada yang kabur, ada yang lain-lain, sesungguhnya semua itu terjadi atas
izin dan kehendak-Nya juga.”
Makanya, jangan tunggu ditagih itu
bayaran atas semua ruas sendi badan kita, dan jangan tunggu sampe diambil
bayaran oleh-Nya atas semua karunia yang diberikan-Nya; mata, telinga, apa yang
di badan, dan segala kesempatan usaha dan lain sebagainya. Jangan sampe
ditagih. Pahit. Bayar aja. cicil-cicil dua rakaat saban hari. Syukur-syukur ya
itu tadi, bisa ngasih lebih sama Allah. Jangan pas-pasan tagihannya.
***
Satu kali saya pernah mendengar ada
yang bayar cicilannya ke satu BMT. Oleh pengurus BMT, setiap yang datang ke BMT
nya, untuk bayar cicilannya, dan mau langsung datang ke BMT tersebut, diberikan
jajanan pasar. Sebagai bonus. Macem-macem bentuknya. Ada pisang goreng, ubi
goreng, teh manisnya, dan lain sebagainya. Sederhana, tapi efektif membuat
nasabah datang. Digelar juga pengajian harian yang bisa diikuti nasabah BMT
tersebut.
Saya melihat Allah jauh lebih baik
dan lebih murah lagi Karunia-Nya. Sesiapa yang mau “membayar-Nya” dua rakaat,
maka Allah memberi bonus lebih kepada ini orang. Entah itu tambahan rizki,
kesehatan tambahan, atau penjagaan dari penyakit dan bala. Dan yang sudah
pasti, tambahan pahala. Ga dia dianggep impas. Kan mestinya mah ga usah lagi
ditambahin, iya kan? Wong itu kan memang hutang tertagih. Tapi ini engga.
Masiiiiiiih saja ditambahin sama Allah. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah,
Tuhan Yang Maha Baik.