Jumat, 21 Februari 2014

HUTANG DHUHA

Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuhu. Allahumma shalli shalatan kamilatan wasallim salaaman taamman ‘alaa sayyidina Muhammadinilladzii tanhallu bihil ‘uqodu watanfariju bihil kurobu watuqdhaa bihil hawaa-iju watunaalu bihir raghaa-ibu wahusnul khawaatimi wayustasqal ghamaamu biwajhihil kariimi wa ‘alaa aalihii washahbihii fii kulli lamhatin wanafasim bi’aadadi kulli ma’luumil laka.


Kita punya hutang sama Allah? Hutang apaan? Hutang shalat dhuha 2 rakaat. Saban hari tuh hutang.

Ini adalah istilah saya saja. Silahkan Saudara semua nanti berpikir. Jika ada benarnya, ya ikutin. Jika tidak benar, ga usah diikutin.

Sekarang kita lihat nih 2 hadits berikut ini:

Abu Dzar meriwayatkan Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap pagi hendaknya seluruh persendian kalian bersedekah. Setiap tasbih itu sedekah, tahmid adalah sedekah, tahlil juga sedekah. Takbir merupakan sedekah, menyuruh orang berbuat baik sedekah, melarang orang berbuat buruk sedekah. Dan semua itu cukup dengan dua rakaat shalat dhuha.” (Hadits Shahih diriwayatkan Imam Muslim).

Buraidah pernah mendengar Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Manusia mempunyai 360 persendian. Hendaklah setiap persendian bersedekah dengan satu sedekah. Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan itu ya Rasulallah? Rasulullah shollawloohu ‘alaihi wasallam bersabda menjawab, “Bersedekahlah walau sekedar membersihkan ludah dari masjid dan membuang duri dari jalan. Jika tidak mampu, maka cukup melaksanakan dua rakaat shalat dhuha.” (hadits Shahih riwayat Ahmad).

Coba bulak balik baca itu dua hadits yang saya kutip.

Manusia menempati sebidang tanah dan yang dibangun di atasnya rumah, dengan uangnya sendiri, dengan keringatnya sendiri. Tapi masya Allah, negara mengutip pajak atasnya. Pajak bumi dan bangunan.

Jika sebidang tanah dan rumah itu saja kita harus bayar ke manusia, bagaimana lagi kepada Allah yang telah menganugerahkan bumi dan langitnya untuk kita?

Manusia makan dan minum, baik di restoran secara langsung, maupun makan dan minum yang dibeli di pasar. Semua ada pajaknya. Semua bayar. Bayar ke negara. Dan kita pun tanpa bayar ke negara, ya bayar juga ke mereka yang menjualnya.  Nah, nah, nah, aslinya semua makanan dan minuman, milik siapa? Siapa yang menyediakan bahan bakunya? Siapa yang memberikan fasilitas tangan dan kaki, otak untuk berpikir, waktu untuk bekerja, kesehatan untuk beraktifitas, dan lain-lain karunia hingga manusia bisa makan minum, bercocok tanam, dan berniaga? Semuanya adalah dari Allah. Lalu bayar engga selama ini?

Seorang manusia gagal nafas. Dibawalah ke rumah sakit dan diberikan nafas buatan. Diberikan oksigen. Ternyata tidak sedikit rumah sakit yang tidak mau melakukan tindakan medis tanpa ada yang bertanggung jawab. Hatta itu secarik kertas dari pemerintah, atau KTP dari yang mengantarnya. Setelah dilakukan tindakan medis, ada bayarannya yang harus dibayar pasien atau keluarga pasien.

Sedangkan Allah memberikan oksigen? Free. Masya Allah. Bukan hanya oksigennya, tapi juga sistem alamnya yang bekerja secara ajaib yang merupakan tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan Allah.

Sepasang mata yang diberikan oleh manusia, rusak. Baik karena umur, atau karena penyakit misalnya. Lalu ia bawa ke rumah sakit. Diberikanlah tindakan medis terhadap mata tersebut. Lah, bayar. Sedang sama Allah yang ngasih mata yang dibetulin? Kaga bayar.

Maen ke pantai yang sudah dikelola oleh swasta maupun pemerintah, bayar. Sedang dari rumah menuju pantai itu, dengan segala Izin-Nya, tidak bayar. Sedangkan untuk jalanan yang dilalui oleh manusia dan disebut “tol”, bayar. Bayarnya ga cukup sekali. Saban sambungan itu tol, bayar. Lah, setiap sambungan ruas sendinya manusia? Kaga bayar.

Engga bakalan cukup lembaran demi lembaran untuk mengingat, merekam, dan menulis ni’mat Allah. “… Laa tuhshuuhaa…, engga akan bisa kalian menghitungnya.” (Qs. Ibroohiim: 34).

 Lalu kita melihatlah tadi di awal dua hadits dari Rasulullah. Ternyata… Hanya karena Kebaikan Allah lah kita ini ga dikutip bayaran. Karena Kemurahan Allah lah kita ga dikutip bayaran. Karena Allah tahu kita ga sanggup bayar juga lah Allah ga mengutip bayaran. Dan memang Allah tidak butuh bayaran manusia. Tapi Allah pun “menuntut” manusia untuk berterima kasih kepada-Nya. Saya kasih tanda kutip, sebab emang tuntutan ini pun demi kepentingan manusia.  Allah benar-benar ga perlu terima kasihnya manusia. “… Dan jika kalian semua dan juga semua yang di bumi lupa sama Allah, kufur sama Allah, menolak Allah, tidak berterima kasih kepada Allah, membangkang terhadap Allah, maka ketahuilah Allah itu Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibroohiim: 8).

Bahasa bahwa Allah menuntut manusia, hanya menandakan kita ini benar-benar kudu berterima kasih. (Ah, tau dah. Makin saya pikiran bahasa buat Saudara semua, makin kayaknya kudu dijelaskan. Padahal kalimat begini, ga kudu dijelaskan kiranya. Udah jadi kepahaman umum).
Murah bener Allah menetapkan “bayaran” atas manusia. Cukup dengan shalat dhuha 2 rakaat, udah cukup buat kita ini “membayar” semua kewajiban sedekah. Padahal tadinya dituntut untuk sedekah mulai dari bangun tidur, sampe tidur lagi, sampe bangun tidur lagi. Masya Allah, yang dua rakaat ini pun menjadi perkara yang dilalaikan, dianggap enteng, dianggap angin lalu, dianggap ga penting. Dan akhirnya memang ga meluangkan waktu, ga mentingin, ga merluin.

Coba ya kita ajak diri kita, dan keluarga kita untuk shalat dhuha. Berterima kasih kepada Allah atas segala karunia-Nya. Seribu kali  yang mengajak kerja adalah ayah kita sendiri, saudara kita sendiri, sahabat kita sendiri, yang dengannya lalu kita bisa mencari nafkah yang halal, namun kiranya mata kita harus bisa memandang bahwa Allah lah yang sejatinya memberi pekerjaan buat kita, menyediakan pekerjaan buat kita, membuat kita mampu bekerja, mengizinkan kita bekerja, dan mengizinkan pula hasil pekerjaan itu bisa kita pakai dan ni’mati. Karenanya kita memang “wajib” membayar-Nya, sesuai dengan apa yang disuruh-Nya. Enteng. Ga berat. Cukup dengan shalat dhuha 2 rakaat dah. Tentunya satu, dengan tetap memperhatikan dan mengerjakan shalat-shalat yang wajibnya. Dua, semakin banyak bilangan rakaat dhuha yang dikerjakan, akan semakin baik lagi persembahan kita untuk Allah.

***

Seorang sahabat yang memiliki sebuah toko di Cipulir, datang mengadu. Habis sudah hartanya. Bahkan jika hartanya habis pun, ia tidak punya cukup sisa untuk membayar hutangnya. Ia menyebutnya, bukan saja jatuh bangkrut, tapi juga minus.

Ketika datang mengadu, selain  diajak bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan hidup, dan sehat. Pun dimotivasi soal ibadah, semangat hidup, pantang menyerah, dan yakin bisa bayar semua hutangnya dan balik jaya.

Di antara obrolan, diajak juga kemudian bicara soal dosa besar. Dosa-dosa yang dilakukan oleh anak manusia, menghalangi rizkinya. Semakin besar dosanya dan semakin banyak, akan semakin besar penghalangnya dan semakin banyak juga penghalang rizkinya.

“Alhamdulillah Ustadz, dosa-dosa besar tidak ada yang saya lakukan…”, begitu katanya.

Ya saya percaya.

“Soal shalat pegimana?”

“Alhamdulillah, soal shalat yang wajib, saya ga pernah tinggal…”.

Iseng saya bertanya. “Kalo yang sunnah…?”

“Ah itu. Kalo soal yang sunnah, emang saya ga sempet…”

“Ga sempet, apa ga nyempetin…? Ga nyempetin kali…?”

Dia tertawa kecil, “Iya.”

“Dhuha itu hutang. 2 rakaat hutangnya setiap hari. Namanya juga hutang. Ada tagihan yang harian, mingguan, tahunan, atau ada yang udah jatuh temponya. Mungkin Saudara sudah jatoh tempo. Ditagihnya sebenernya udah dari setahun terakhir ini kali. Addaaaa aja jalan-jalan bagi Allah mengambil apa yang menjadi hak-Nya, dan atau sekedar mengurangi rizki kita. Nah, tagihan itu akhirnya emang harus ditutup dengan penyitaan. Kan, meski kelihatannya yang mengambil adalah manusia; Saudara ditipu, Saudara dibohongi, ada giro yang bolong sehingga bolong juga ke orang lain, ada yang kabur, ada yang lain-lain, sesungguhnya semua itu terjadi atas izin dan kehendak-Nya juga.”

Makanya, jangan tunggu ditagih itu bayaran atas semua ruas sendi badan kita, dan jangan tunggu sampe diambil bayaran oleh-Nya atas semua karunia yang diberikan-Nya; mata, telinga, apa yang di badan, dan segala kesempatan usaha dan lain sebagainya. Jangan sampe ditagih. Pahit. Bayar aja. cicil-cicil dua rakaat saban hari. Syukur-syukur ya itu tadi, bisa ngasih lebih sama Allah. Jangan pas-pasan tagihannya.

***

Satu kali saya pernah mendengar ada yang bayar cicilannya ke satu BMT. Oleh pengurus BMT, setiap yang datang ke BMT nya, untuk bayar cicilannya, dan mau langsung datang ke BMT tersebut, diberikan jajanan pasar. Sebagai bonus. Macem-macem bentuknya. Ada pisang goreng, ubi goreng, teh manisnya, dan lain sebagainya. Sederhana, tapi efektif membuat nasabah datang. Digelar juga pengajian harian yang bisa diikuti nasabah BMT tersebut.
Saya melihat Allah jauh lebih baik dan lebih murah lagi Karunia-Nya. Sesiapa yang mau “membayar-Nya” dua rakaat, maka Allah memberi bonus lebih kepada ini orang. Entah itu tambahan rizki, kesehatan tambahan, atau penjagaan dari penyakit dan bala. Dan yang sudah pasti, tambahan pahala. Ga dia dianggep impas. Kan mestinya mah ga usah lagi ditambahin, iya kan? Wong itu kan memang hutang tertagih. Tapi ini engga. Masiiiiiiih saja ditambahin sama Allah. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Baik.

Kajian tentang dhuha ini sudah ada dalam bentuk DVD. Malah dijadikan DVD 01 dari seri MDN. Dan beberapa seri lagi yang terkait dengan ihyaa-us sunnah. Mudah-mudahan Saudara menyempatkan diri untuk melihatnya, mendengarnya, dan mempelajari DVD-DVD tersebut ya. Silahkan lihat di Galeri Wisatahati ya. Syukran. Jika Saudara tidak punya cukup dana, cukup mendonwload saja DVD-DVD yang dimaksud. Mudah-mudahan semua – termasuk saya – diberi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan keringanan untuk menjalankan sunnah-sunnah-Nya.

Selamat mengikuti terus KuliahOnline. Semoga ada keridhaan Allah. Amin. Sesi yang akan datang kita pelajari hitung-hitungan hutang shalat dhuha.

Alhamdulillaahi rabbil ‘alamin. Allahumma shalli shalatan kamilatan wasallim salaaman taamman ‘alaa sayyidina Muhammadinilladzii tanhallu bihil ‘uqodu watanfariju bihil kurobu watuqdhaa bihil hawaa-iju watunaalu bihir raghaa-ibu wahusnul khawaatimi wayustasqal ghamaamu biwajhihil kariimi wa ‘alaa aalihii washahbihii fii kulli lamhatin wanafasim bi’aadadi kulli ma’luumil laka. Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuhu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar