Saudaraku,…
Tidaklah Allah bersumpah dalam al-Quran dengan meggunakan
kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili, bis-syafaqi, wal-fajri,
dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan tentang betapa pentingnya
waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh perhatian terhadap masa
hidupnya.
Waktu yang Allah berikan kepada kita lebih berharga
daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang Muslim tidak
pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda, bergurau, main-main,
dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia tidak akan pernah mampu
mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang mengabaikan waktunya, maka
semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian orang sakit, dia merasa rugi
kehilangan kesehatan dan kekuatannya.
Di dalam perjalanan para ulama’ terdahulu terdapat banyak
contoh yang mencengangkan bagaimana mereka menggunakan umurnya yang mampu
mendorong kita agar benar-benar menjaga detik-detik ini. Para pendahulu kita
dengan keterbatasan dana, teknologi, tidak ada listrik, printer, dan
sejenisnya, namun amal mereka tak mampu ditandingi oleh manusia sekarang.
Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berjuang di jalan Allah, menyibukkan
diri dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, berdzikir, bertasbih,
beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.
Seorang murid dari Al Alusi Al-hafidh, Bahjah Al-Atsari
berkata: “Saya teringat bahwa saya tidak datang belajar pada suatu hari
karena hujan dan angin kencang. Kami kira Al-Alusi tidak datang mengajar.
Keesokan harinya beliau berkata: “Tidak ada kebaikan bagi orang yang
terpengaruh oleh panas dan hujan untuk tidak belajar”.
Di antara sikap yang menakjubkan dalam menghargai waktu
adalah Ibnu Taimiyah (590 H). Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu
tanpa mengajar, menulis, dan ibadah lainnya. Pada waktu masuk kamar kecil pun
beliau meminta seseorang untuk membacakan kitab kepadanya dari luar.
Ibnu Rojab berkata: “Hal ini menunjukkan betapa kuat
dan tingginya kecintaan beliau untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu”.
Murid beliau, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa beliau di saat sakitpun masih
sempat membaca dan menelaah ilmu. (Roudhotut Tholibin)
Di antara menyia-nyiakan umur pula adalah sibuk dengan sesuatu yang tidak
penting. Berasyik-ria dengan kegiatan yang remeh temeh. Seperti main catur,
domino, menonton TV, baca desas-desus berita koran, nonton berita ghibah, SMS
atau bicara di HP dengan sesuatu yang tidak penting. Sehingga banyak
ketinggalan ilmu yang seharusnya ia miliki.
Imam Syafi’i pernah ditanya,
“Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab: “Ibarat seorang ibu yang kehilangan
anak tunggalnya dan ia tidak memiliki anak kecuali anak tersebut.”
(Adabus-Syafi’I wanaqibuh,
Ar-Rozi, dinukil dari Ma’aalim
fit-thoriqi thlabil ‘ilmi hal.41).
Bandingkanlah pemandangan antara Imam Syafi’I yang haus ilmu dengan
orang-orang sekarang. Di kantor ia banyak ngobrol, meski banyak orang sedang
membutuhkannya. Di rumah ia hanya nonton TV padahal banyak waktu bisa
dimanfaatkan untuk kebaikan. Bahkan nongkrong malam hari hanya untuk mengejak
kesia-siaan.
Waktu lewat begitu saja dengan kelebihan jam tidur, banyak makan, banyak
berleha-leha dan santai. Sehingga yang timbul justru panjang angan-angan,
menunda-nunda pekerjaan, menunda taubat. Terutama antara adzan dan iqomah tidak
digunakan untuk berdo’a, atau berdzikir, membaca al-Qur’an, mengulang hafalan, muhasabah, muroja’ah dan
sebagainya.
Tulisan ini dikutip dari :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar