Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu.
Maka ketika Saudara ngamalin, maka di sinilah saya menyebutnya: Saudara
bekerja dengan apa yang Saudara ketahui dan yakini. Duit 12jt itu Saudara tidak
bawa ke dealer motor langsung. Saudara ambil 1,2jt. Biar saja 1,2jt ini “yang
bekerja” mendatangkan motor senilai 12jt. Dengan make ilmu ini, Saudara malah
hemat 10,8jt rupiah. Duit ini bisa dipake buat kebaikan-kebaikan lain.
Kalau waktu butuh motornya mendesak?
Itu namanya hidup tanpa planning dong. Saudara laper mata
disebutnya. Ini bahasa nenek saya: Guru Hajjah iyo. Bahasanya ibu saya: Bu Uum.
Pengen apa-apa ya mesti dibeli saat itu juga. Ga lucu. Apalagi hidup kan kudu
manfaat buat orang. Dan setiap kejadian kalo bisa harus bisa nambah ilmu lagi,
nambah amal saleh, dan nambah keyakinan.
Ini belom ditambah ilmu doa, dan ilmu-ilmu lain yang akan kita pelajari
sedikit demi sedikit di Kuliah Tauhid ini. Biar Saudara merasa punya Allah yang
Maha Menolong, Maha Menyediakan Kebutuhan, Maha Menyediakan Rizki… Ajak Allah
masuk dalam setiap keinginan dan kebutuhan Saudara. Ajak Allah masuk di
kehidupan Saudara. Jangan sendirian. Dalam kasus contoh motor ini, paling tidak
Allah jadi yang ditanya dah. Sehingga Saudara tidak maen jalan saja beli motor
tanpa melibatkan Allah. Saudara jadiin ibadah sejak awal terbersitnya. Lalu
kemudian Saudara pelihara sampe selesainya. Toh yang menjadikan Saudara punya
duit dan bisa beli motor adalah Allah. Kenapa Allah ditinggal dan tidak
dilibatkan? Apalagi Allah juga yang menjadikan Saudara sehat, dan selamat
ketika menggunakan nikmat Allah berupa motor tersebut.
Saudara yang baru mengenal saya, baru mengikuti Kuliah Online, akan bingung
kali ya… He he he, koq contohnya motor? Yah, inilah belajar ala Yusuf Mansur.
Belajarnya ga ketinggian. Sebab kita kan bukan kuliah di kampus. Tapi belajar lewat kuliah kehidupan. Nanti malah
contohnya pake “ikan mentah”, he he he.
***
Saya sering mengingatkan diri saya dan jamaah, bahwa kerap kita melupakan
Allah. Mulai dari urusan yang besar, sampe yang kecil. Atau sebaliknya, dari
urusan yang kecil sampe yang besar. Dari urusan yang ringan sampe yang berat.
Padahal Allah menyuruh kita mengingat-Nya, dan bersama-Nya, 24 jam, di seluruh
sendi kehidupan. Bukan hanya saat susah, tapi juga saat senang. Bukan saja saat
berduka, juga saat bahagia. Dan bukan saja pada penikmatan hasil ikhtiar, tapi
juga sejak menit awalnya.
Kita lihat bagaimana Rasulullah mengajarkan niat dan doa. Sehingga kita
tahu tidak ada satupun aktifitas kita yang tidak melibatkan Allah, yang tidak
bersama Allah. Bahkan maaf ya, sampe makan dan buat air kecil dan besar, di
awal dan di akhir kita disuruh melibatkan Allah dan bersama Allah, lewat doa
dan niat. Subhaanallah kan? Harusnya ini mengajarkan kita semua bahwa di semua
bab kehidupan kita mestinya ya begitu. Tapi masya Allah, kita ini sering
lupanya ketimbang ingatnya. Lebih sering lalainya, ketimbang awasnya.
Dalam keadaan lapar, lalu Saudara ada duit 10rb, Saudara malah ingetnya ke
tukang nasi goreng, he he he. Jarang banget ada yang dikasih lapar, lalu inget
Allah. “Makasih ya Allah, saya dikasih lapar…”. Lalu bertambah-tambah menyebut
Allah nya, tatkala lapar, pas megang duit 10rb… Teruuuusss bertambah-tambah
lagi syukurnya, pas lapar, pas megang duit, paaaaaaasss tukang nasi goreng
lewat… Asyik… Rasa lapar bertambah-tambah nikmatnya. Ada Allah di
tengah-tengah kita.
Di Kuliah ini saya ingin mengajarkan kepada Saudara bagaimana kemudian ilmu
dipakai, keyakinan dipakai. Yah kira-kira seperti inilah. Saudara kemudian
bertambah-tambah iman nya.
Masa iya sih Ustadz sampe kayak gitu nya?
Laaaaahhhh, coba aja pikirin sendiri… Jangankan bab
nasi goreng, la wong bab buang air kecil dan besar saja ada aturan
sunnah Rasulnya… Iya kan? Sebab di sisi Allah dan Rasul-Nya, ga ada itu
perkara kecil kalau sudah berurusan dengan tauhid, keyakinan, kebersyukuran,
dan hal-hal yang menyangkut iman, ibadah atau amal saleh. Buang air kecil
sering dipandang enteng. Buang air besar apalagi. Dianggep jorok. Nikmat bisa
buang air, dipandang sebelah mata. Yang disebut “nikmat” adalah bisa makan
doangan. Bukan buang air. Padahal kalo udah kena kanker prostat, bukan maen
mahalnya. Apalagi kalau sampe dibuatkan saluran buang air buatan, dan ditutup
lubang salurang buang air alami dari Allah…? Wuah…
Kita coba mulai nukik ke belajar keyakinan ya…
Saudara… Jika Saudara punya duit 10rb, lalu Saudara jalan ke tukang nasi
goreng, dan Saudara bawa pulang itu nasi goreng, maka Saudara ga akan menemukan
Allah di sana. Dan Saudara pun tidak mendapatkan Allah di hati dan di pikiran Saudara.
Saudara akan menganggap, ya begitulah adanya. Kalau punya duit 10rb, lalu jalan
ke tukang nasi goreng, maka pulang akan bawa nasi goreng. Saudara lupa, bahwa
hidup ini pun berisi kemungkinan-kemungkinan yang lain. Dunia ini bersifat
relatif. Yang hakiki hanyalah Allah.
Bisa saja terjadi hal yang tidak Saudara inginkan… Saudara keluar dari
rumah, tidak ada satupun yang dagang…
Sekalinya ada yang dagang, tukangnya ga ada. Saudara beralih ke dagangan
yang lain, warteg misalnya, habis semua lauk pauknya… Hingga akhirnya Saudara
megang duit pun, tetap ga makan…
Nah nah nah… Saya seneng bercanda dengan Saudara… Di urusan belajar
keyakinan ini.
Jika Saudara memahami dunia ini Allah yang mengaturnya, siapa yang kemudian
mengatur Saudara bisa dapat dan tidak nasi goreng?
Tidak kah Saudara mau berpikir, siapa yang memberi kemudahan buat Saudara,
lalu tiba-tiba koq ada tukang nasi goreng yang dibuat oleh Allah lewat depan
Saudara…?
Tidak kah Saudara mau berpikir, siapa yang kemudian memberi semua yang dagang
kesibukan, sehingga meninggalkan tempat dagangnya. Sehingga Saudara tidak
ketemu yang dagang…? Atau siapa yang “menghabiskan” barang dagangannya yang
dagang…? Sehingga ketika Saudara datang, sungguhpun Saudara megang duit,
pedagang nasi ga bisa ngasih nasinya buat Saudara…?
Coba jajal ilmu yakin, bahwa Allah yang memberi semua makhluk-Nya.
Betul Saudara… Coba jajal sedikit ilmu Saudara nanti saat Saudara sudah
mulai belajar ilmu tauhid ini… Hingga bertambah iman dan keyakinan Saudara…
Saat lapar ada… Saudara jangan dulu pakai duit Saudara untuk beli nasi
goreng…
Sebentar… Santai aja… Dibuat rileks…
Saudara jajal bersyukur dulu…
Saudara jajal berdoa dulu…
Ga usahlah pake sedekah dulu, he he he… Lebay nantinya, ha ha ha…
Cukup coba bersyukur dan berdoa. Berterima kasih seperti yang sudah dikutip
di atas. Berterima kasih kepada Allah udah dikasih rasa lapar dan uang…
Tapi kalau mau sedekah, bisa juga… Tambah manteb. Tambah sempurna.
Gimana coba…?
Hmmm… Coba bilang, Yaa Robb… Saya mau beli nasi goreng… Ada 10rb nih… Mau
beli dua ah… Yang satu bungkus buat orang lain…
Bisa juga kan?
Atau sekalian aja bercanda sama Allah. Ngarep keajaiban-Nya sekalian yang
sempurna…
“Ya Allah, duit yang 10rb ini buat Engkau saja… Anterin aja saya nasi
goreng yang saya ga kudu beli… Jadi duitnya kan POL buat hamba-Mu yang lain…”
He he he…
Lalu apakah Saudara kemudian berdiam diri?
Ya jangan. Setelah bersyukur dan berdoa, ya jalan aja ke tempat nasi goreng
mangkal. Pesen aja di sana, beli di sana.
“Bang… Nasi goreng…”
“Pedes ga…?”
“1 pedes, 1 engga…”
Kita niatkan yang ga pedes, buat orang. Jaga-jaga yang kita kasih ga doyan
pedes.
“Kasih aja ntar acar dan cabenya ya…”, begitu kita bilang sama si Abang.
Saudara, Saudara sudah mengundang Allah… Dan Allah akan datang loh…
“Mas, beli nasi goreng juga…?”, sapa seorang yang ga dikenal…
“Iya… Tinggal di sini…?”
“Engga. Lagi namu…”
Sejurus kemudian orang ini merogoh koceknya… “Bang, nih lima puluh ribu…
Bikin 4 bungkus ya. Sekalian kembaliannya buat bayarin si mas ini, dan buat
abang sisanya…”.
“Wah, makasih ya… Engga kenal, tapi mau bayarin…”.
***
Bila Saudara punya duit, jalan, lalu pulang bawa nasi goreng, peristiwa ini
mungkin tidak akan menjadi peristiwa tauhid.
Wawloohu a’lam ya, andai Saudara bener-bener kuat tauhidnya. Umpama
sungguhpun tidak ada orang yang bayarin, alias bayar sendiri, Saudara tambah
bertasbih dan bertahmid, memuji Allah sebab akhirnya Saudara bisa makan.
Saudara memandang, ga mungkin Saudara bisa keluar rumah, bila tidak ada rizki
Allah berupa kaki, keselamatan, walo deket jaraknya. Dan Saudara memandang ada
Allah, sehingga Saudara diizinkan makan.
Bukan apa, belom tentu juga kan saya bilang di atas, Saudara lalu bisa
makan. Belom tentu. Bahkan ketika Saudara sudah nenteng itu bungkusan nasi
goreng, belom tentu bisa makan kalau ga ada izin Allah.
Ini peristiwa sehari-hari yang mungkin saja Saudara alami loh…
Begitu pulang, ada tamu. Saudara lalu melayani tamu dulu. Nasi ditaro di
dapur. Lagi ngelayanin tamu, datang ponakan. Kita ga nyangka, kalo ponakan
langsung nyelonong ke dapur. Liat-liat, ada nasi goreng. Diembat deh, he he he.
Tamu pulang, saudara lalu ke dapur. Yang ada tinggal acarnya doangan… ha ha
ha…
Orang yang bertuhan Allah, senantiasa melihat semua kejadian, semua
peristiwa, ada Allah, dan selalu ada Allah…
***
Saya mengajarkan diri saya, bergantunglah kepada Allah. Jangan pada selain
Allah.
Saudara punya kesulitan. Lalu Saudara punya motor, yang dengan motor itu
Saudara merasa “aman”, ini bahaya buat tauhid. Tanpa sadar, motor itu
pelan-pelan menjadi tuhannya Saudara,
Saudara punya kesulitan, Saudara mengenal Saudaranya Saudara… Lalu
Saudaranya Saudara itu membantu… Wuah, kadang ini malah lebih gawat buat tauhid
Saudara…
Saudara ada keperluan, duit tersedia. Istri, anak-anak, rumah tangga, ada
keperluan. Duit ada. Wuah, Allah biasanya “ga kepake”, “ga dipake”…
Berhala-berhala modern sekarang ini menjelma menjadi lebih banyak lagi
berhala. Ia bisa uang, bisa sodara, bisa kawan, bisa majikan, bisa perusahaan,
bisa pimpinan, bisa kekasih hati. Bisa banyak hal. Yakni bila kita bergantung
kepada mereka itu, bila kita takut kepada mereka, bila kita berharap sama
mereka. Sampe lupa dan melupakan Allah.
Sebentar ya. kita santai-santai belajarnya… Saya coba detailkan contohnya.
Saya ingin bertanya kepada Saudara…
(+) Saudara pengen ikan di pasar. Ikan mentah. Lalu Saudara punya duit.
Saudara ingat tuh sama Allah?
Bagus kalau masih sempet bismillaah… Apalagi keluar rumah menuju ke pasar
sambil niat ibadah. Masuk pasar juga sambil baca doa masuk pasar yang diajarkan
Rasulullah.
Biasanya?
(-) Kalau bicara biasanya, bisa jadi baca bismillaah juga engga. He he he,
nuduh ya?
(+) Yaaah, mudah-mudahan saja Saudara engga begitu. Amin.
Nah, sekarang siapa yang percaya bahwa jika Allah menghendaki, maka
seseorang yang ga punya duit, bisa aja pergi ke pasar lalu pulang bawa tetap
ikan…
(-) Meski ga ada duit?
(+) Iya. Meski ga ada duit.
(-) Tapi jika Allah menghendaki ya?
(+) Iya. Tentu. Bicaranya adalah jika Allah menghendaki.
(-) Kalau begitu, saya percaya.
(+) Buktinya apa? Berkenan ngetes?
(-) Ngetes gimana?
(+) Ngetes, dengan silahkan pergi ke pasar. Jangan bawa duit. Bisa?
(-) He he he… Ga ah. Kerajinan…
(+) Ga bisa kan? Merasa ga mungkin kan? Ke pasar ya harus bawa duit lah…
Gitu kan? Seorang ibu jalan ke pasar, duitnya ketinggalan. Dompetnya
ketinggalan. Kira-kira, balik lagi ke rumah ambil duit atau dompet? Atau lanjut
jalan ke pasar?
(-) Kalau bicara umumnya, ya balik dulu. Pulang dulu. Sebab percuma. Masa
ke pasar liat-liat doangan…?
(+) Nah, itu kira-kira kenapa? Sebab percayanya adalah kalo ada duit
bisa belanja, kalo ga bawa duit ga bisa
belanja. Kalo bawa Allah, masih ragu kan?
(-) Bawa Allah itu… Maksudnya?
(+) Bawa ajaran-Nya. Bawa cara-Nya.
Itu tadi cerita seorang ibu yang ketinggalan duit. Gimana kita belajar dari
Imam Ali. Dikisahkan satu hari Sayyidatina Fathimah, istri Imam Ali, meminta
tolong suaminya ini untuk membeli sesuatu di pasar. Diberinyalah sejumlah uang,
dan berjalanlah Imam Ali ke pasar. Di tengah jalan, Imam Ali bukan ketinggalan
uang, yang kemudian ia balik lagi ke rumah. Bukan. Imam Ali di tengah jalan
memberi uang itu kepada yang lebih membutuhkan. Sabab bi-idznillaah Imam
Ali tahu bukan karena duit beliau bisa belanja dan bisa bawa barang yang
dipesan istrinya, tapi karena Allah, maka Imam Ali terus saja berjalan.
Beda banget kan dengan kita?
(-) Beda banget. Imam Ali sengaja menyerahkan duitnya ya? Bukan
ketinggalan. Dan Imam Ali yakin Allah ada di pasar yang ia tuju.
(+) Persis…
Dan ternyata sampe pasar, betul Allah sudah menunggunya. Imam Ali dipercaya
menjaga satu barang dagangan. Kemudian tidak berapa lama, Imam Ali diberikan
keuntungan sepuluh kali lipat dari yang Imam Ali berikan buat orang lain. Imam
Ali pulang bawa barang pesanan istri tersayang, dan juga bawa uang lebihan.
Di sini, di Kuliah Tauhid 01 ini, saya ingin langsung mengatakan kepada
Saudara semua, inilah bedanya. Ketika Saudara bawa duit, dan yang ada di kepala
Saudara adalah duit, dan hitungan material sebab akibat dunia saja, maka
sekalipun Saudara bawa barang belanjaan, ya seukuran duit aja. Ga lebih. Tapi
ketika Saudara membawa Allah, maka kemungkinan besar Saudara akan bawa lebih
dari sekedar barang belanjaan. Minimal Saudara membawa pahala, membawa ibadah. Betul?
(-) Betul.
(+) He he he, ga usah dijawab. Biar bagian saya melanjutkan…
(-) Silahkan.
***
Saudara perlu mengetes pengetahuan Saudara akan keyakinan, dan mengetes apa
yang menjadi keyakinan buat Saudara. Supaya nanti bisa bekerja dengan apa yang
Saudara ketahui dan yakini. Punya nih duit, lalu kepengen ada yang dibelanjai,
sekali-kali tes. Ga usah dibawa itu duit. Seperti Imam Ali, bagiin aja.
Kemudian jalan aja ke pasar. Silahkan dicari tahu, apakah ketika duit tidak
dibawa, malah dibagiin, lalu pulang dengan tangan kosong? Pulang dengan tangan
hampa? Jajal aja.
Saudara bikin daftar belanjaan. Dari a s/d j yang Saudara mau beli di
supermarket besar. Total diperkirakan: 2jt.
Saudara tahu sedikit ilmu. Jika sedekah 1 dibalas 10. Kalo dibalik, maka
kalau mau dapat 10, keluarkan 1. Dengan pengetahuan ini Saudara yang ada
pengeluaran 2jt dan ada duit 2jt, lalu bekerja dengan pengetahuan ini. Dan
diyakini.
Ambil 200rb. Keluarkan. Sisanya 1,8jt, silahkan dipergunakan untuk
keperluan lain.
Lalu sebagaimana orang yang bawa duit, berjalanlah Saudara ke supermarket
tersebut.
Sebagaimana Saudara punya duit, dan bawa duit, gagah aja melangkah. Masuk,
ambil troli, dan mulailah jalan ke rak demi rak sesuai daftar belanjaan.
Jangan kaget bila kemudian Allah utus seseorang untuk membantu Saudara.
Sampe di rak pertama, ada yang menegur, “Lagi di sini? Belanja apaan?”
“Eh oh uh…”, sesaat Saudara bisa jadi ragu. Masa pengen bilang, “Lagi
ngetes ilmunya Yusuf Mansur!”. Ha ha ha, bubarlah dunia persilatan jika bilang
begitu. Biarlah ini urusan Saudara dengan Allah saja. dinikmati saja pertanyaan
itu, dan ga usah memberitahu keadaan saat itu. Misalnya dengan mengatakan: Saya
ini punya duit 2jt. Lalu jajal ilmu sedekah. Tadi pagi sedekah 200rb.
Mudah-mudahan Allah yang belanjain saya.”
Ga perlu. Ga perlu begini. Ga perlu orang lain tahu. Maka begitu ditanya,
ya jawab, “Saya lagi ada yang mau dibeli.”
Kita kemudian menemani beliau. Atau beliau yang menemani kita.
Beliau ambil barang a, diambilnya dua. Satu ditaro di keranjang Situ.
Beliau ambil barang b, diambilnya lagi dua. Satu ditaro di keranjang kosong
tadi.
Dan seterusnya sampe j.
Ibu ini sadar-sadar pas mau bayar. Dari tadi dia bingung, mau dikasih tau
soal duit ga ya? Ini orang maen masukin aja barang-barang ke keranjangnya. Mau
nanya, siapa yang bayar? Gengsi.
Sebagaimana kita bawa duit, ya seperti itu pula kita manteb melangkah.
Kemana? Ke kasir! He he he. Sampe kasir, beliau yang ketemu dengan kita, dan
menemani kita belanja, bahkan masukin barang-barang ke kita, dialah yang
bayarin. “Biar saya aja yang bayar…”. “Masukin Mbak ke bill saya. Sekalian sama
barangbarang saya,” katanya kepada si kasir.
Berarti GA BUTUH IKHTIAR dong…?
Jangan buru-buru jawab. Ntar malah ga sempurna tauhidnya. Sebab tauhid yang
bener juga tidak menjadikan Saudara lalu tidak berikhtiar. Ikutin saja dulu.
***
Kembali sebentar ke “ikan mentah” di atas.
Allah dan Rasul-Nya itu banyak mengajarkan kepada kita ajaran-ajaran-Nya
dan ajaran-ajaran Rasul-Nya. Di antaranya kebersihan harta, kehalalan rizki,
dan ibadah-ibadah serta amal-amal saleh. Dan jangan lupa. Allah pun mengajarkan
keyakinan kepada-Nya. Dan di antara keyakinan yang diajarkan Allah adalah bahwa
satu-satunya pemenuh kebutuhan adalah Allah. Satu-satunya pemberi rizki adalah
Allah.
Ketika Saudara memanggil Allah, melibatkan Allah, di urusan Saudara, apakah
Saudara tidak memerlukan ikhtiar? Kita coba lihat. Nyatanya, sebagai orang yang
meyakini – misalnya – di urusan ikan mentah, tetap saja Saudara harus jalan.
Harus ikhtiar.
Saya tanya, orang yang pengen ikan, sedang dia punya duit, dan tau ikan itu
di pasar, gimana kemudian caranya? Maksudnya, apa yang dia ambil sebagai
langkah konkrit?
Jalan ke pasar.
Betul. Dia jalan ke pasar.
Maka saya senang menggunakan kalimat ini, “Maka jalanlah ke pasar.
Sebagaimana mereka yang punya duit, maka sebagaimana itu pula Anda jalan ke
pasar. Anda punya Allah. Anda pake Allah.”
Sampe di pasar nanti, sebagaimana orang yang punya duit mendatangi tukang
ikan, maka Anda datangilah tukang ikan.
He he he, makin seru nih. Sebagaimana yang megang duit, yang meyakini bahwa
duit bisa ngebeli ikan, sedang Saudara pegang Allah sebagai pemberi ikan, bukan
duit, maka “belilah” ikan itu!
“Bang, ini ikan berapa duit sekilonya?”
“17rb… Berapa kilo?”
PD aja jawabnya, “Dua kilo…”
Si tukang ikan pun milihin ikan yang bagus. He he he, Saudara yang ga
megang duit, akan gemeteran kali. Lah lah lah… Berani-beraninya ga megang duit
lalu kemudian mesen ikan. Kan kalo udah dipilih, nanti dibungkus. Kalo sudah
dibungkus, nanti serah terima. Si tukang ikan, ngasih ikan. Kita ngasih duit.
Gitu kan?
Lah, kita kan ga bawa duit?
Betul. Tapi kita bawa iman. Kita bawa Allah. Kita bawa keyakinan bahwa bawa
engga bawa ikan, bukan urusan duit. Urusan Allah. Bisa makan engga bisa makan,
bukan urusan duit. Tapi urusan Allah.
PD aja.
“Ada tambahan lagi?” si tukang ikan nanya.
“Engga. Cukup.”
Si tukang ikan pun menyerahkan bungkusan ikan.
Detik itu, harusnya kita serahkan duit. Tappppiii… Tukang ikan ini bicara,
“Ga usah bayar. Udah dibayarin.”
“Dibayarin siapa…?”, tanya kita basa basi, he he he.
“Dibayarin kawannya Mas. Katanya kawan SMU…”
Mata kita edarkan ke sekeliling. Ga ketemu yang dimaksud.
“Koq tahu saya mau beli ikan?”
Kata si tukang ikan, kawan ini tadi beli ikan di sini. Dia melihat Mas.
Terus mengatakan feelingnya kawan ini mau jalan ke saya. Beli ikan. Lalu dia
bayarin, seakan-akan Mas bener-bener mau beli ikan. Terus dia berlalu, ga perlu
ketemu katanya. Bilang aja begitu.
Subhanallah… [bersambung]
Wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar