Assalaamu ’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Alhamdulilaahi rabbil
‘aalamiin. Washalaatu wassalaamu ‘alaa asyrafil anbiyaai wal mursaliin.
Nabiyyinaa Muhammadin shallaallahu ‘alaihi wasallama. Wa ‘alaa aalihi wa
azwaajihii wa dzurriyyatihii wa ash-haabihii wa ummatihii ilaa yamuddiin.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ammaa ba’du.
Ketika yang lain mengumpulkan uang,
kita menebarnya, membaginya. Ketika yang lain berburu uang dan menahannya, kita
malah melepasnya. Itulah sedekah.
Konsep-konsep aneh dalam sedekah,
dianggap tidak lazim sebab kita memang tidak terbiasa. Mana ada cerita sebuah
konsep: “Jika mau dicukupkan Allah, sedekahkan apa yang kurang”? Jika yang lain
malah mencari pinjeman dan pontang panting usaha sana sini untuk
mencukupkannya, kita malah dengan entengnya menyedekahkan apa yang kurang itu.
Konsep aneh.
Terasa aneh juga. Anak-anak lapar,
ada kebutuhan, ada hajat, namun pas ada, malah mentingin anak orang lain,
mentingin kebutuhan dan hajat orang lain.
Aneh.
Dan sekali lagi, jadi aneh sebab
kita tidak biasa melakukannya. Manakala kita terbiasa melakukannya, maka ia
menjadi sebuah metode yang layak diikuti.
Pertanyaan demi pertanyaan kemudian
muncul. Seputar ikhlas dan doa sebagai isyu utamanya. Tatkala sedekah dijadikan
sebagai senjata, sebagai metodologi untuk membanyakkan rizki, sebagai wasilah
yang disengaja untuk mendapatkan ampunan Allah, surga, dan keridhaan-Nya,
mulailah muncul pertanyaan boleh atau tidaknya.
Pertanyaan kemudian berkembang lagi.
Misalnya, apakah ketika seseorang meminta fadhilah, keutamaan, dari satu amal,
di dunia ini, lalu ia akan kehilangan haknya di hari akhir? Dan banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang akan terus.
Dengan segala keterbatasan, saya
memohon izin Allah, dan kemudahan untuk mengajar secuplik secuplik, sedikit
demi sedikit, sambil menguraikan. Agar ada kepahaman juga, yang mudah-mudahan
keyakinan yang selama ini diyakini, pengajaran yang selama ini diajarkan,
adalah bukan satu kesalahan. Bukannya apa. Saya pun kadang risau. Jika seruan
sedekah saya, MALAH KEMUDIAN MEMBAWA SAUDARA SEMUA JUSTRU KE NERAKA. Saya
sebagai pendakwah di lapangan, sempat juga diliputi keraguan. Apa iya saya
mengajarkan sesuatu yang salah? Sedang yang saya sampaikan adalah Janji Allah
dan Rasul-Nya? Ketika yang lain, keutamaan sedekah muncul akibat
ketidaksengajaan, maka saya justru menyeru untuk menyengaja. Ada yang tidak
berani meminta, saya justru menyuruh diri saya dan orang lain untuk jangan
segan-segan meminta. Berdoa. Kepada Allah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah
yang saya coba turunkan lewat kesempatan demi kesempatan kali ini.
Kita awali dengan tulisan sederhana,
berjudul: Amplop di Kolong Pintu...
***
Ada seorang anak yatim, yang sakit.
Di ujung gang. Dan kita tergerak memberi ibu ini anak yatim, 100rb rupiah
sebagai sedekah kita. Kita jalan diam-diam, no body knows. Tidak ada
yang tahu. Bahkan kita pun menyengaja tidak memberi tahu siapapun. Kita sembunyikan
segala niatan kita. Hanya Allah saja yang tahu.
Kita ambil amplop, lalu kita
selipkan uang Rp. 100 tersebut. Kita pilih sengaja jalan menuju rumah si yatim
di saat langit begitu sunyi dihiasi sinar sempurna rembulan. Satu alasan:
Benar-benar supaya tidak ada yang tahu, bahwa di tangan kita tergenggam amplop
putih berisi uang 100rb untuk si yatim.
Andai pun ada yang menegur:
"Hendak kemana wahai anak muda?"
Niscaya kita hanya akan jawab dengan
senyuman saja tanpa berkata-kata. Menghindari pertanyaan selanjutnya. Kalaupun
perlu menjawab, kita hanya akan menjawab: "Sedang menikmati malam dan
gemerlapnya bintang."
Lalu, di depan pintu rumah si yatim,
kita pun menikmati kesendirian amal. Benar-benar tidak ada yang tahu. Sementara
kita meyakini bahwa Malaikat-Malaikat Allah yang bersih hatinya lah yang
menatap lekat perilaku kita dan mencatatnya bahwa amal ini mutlak milik Allah
dan dipersembahkan hanya untuk Allah semata.
Melalui lobang kecil di bawah pintu,
yang berjarak hanya setengah centi dari tanah, kita masukkan amplop tersebut.
Amplop ini hanya bertuliskan: “Dari hamba Allah.”
Bahkan amplop itu masih berisi
sedekah dalam bentuk yang lain. Yakni sedekah dalam bentuk sekalimat doa: “Semoga
Ananda diberikan kesembuhan, dan ibu memiliki keberkahan memelihara anak
yatim."
Tapi ya hanya sampai di situ.
Benar-benar sampai di situ. Tidak ada ketukan pintu yang kemudian menjadi
kesempatan buat kita memberi tahu si penghuni rumah bahwa ada amplop terselip
di bawah pintu. Tidak. Amal ini begitu sunyi. Sesunyi malam yang dipilih.
Inilah yang barangkali disebut
dengan “ikhlas” oleh kebanyakan orang. Berusaha keras menyembunyikan amal,
hanya Allah saja yang tahu. Kerahasiaan amal dijaga demikian ketat. Hal-hal apa
saja yang menyebabkan amal ini menjadi tetap tersembunyi, benar-benar
dilakukan.
Tentulah TIDAK ADA YANG BERANI
membantah tentang ikhlas yang model begini. Sayangnya, kemudian keyakinan/sudut
pandang bahwa ikhlas adalah berhenti bermodel begini, lalu meniadakan/menafikan
ikhlas yang lain.
Sebelum melanjutkan ke esai berikut,
ada contoh tentang ikhlas yang berbeda: Seorang TKI, menyerahkan uang
tabungannya yang sudah ia kumpulkan 3 tahun. Dengan harapan agar ia beroleh
jodoh. Sudah 3x ia balik keluar negeri tempat ia bekerja, dan belom beroleh jodoh.
Lalu, apakah pengharapannya ini salah? Layak kah kita menyebutnya tidak ikhlas?
Ikhlas mana dengan kita yang menjaga tabungan kita hanya untuk diri kita? He he
he.
Ok deh, kita ikuti ya sesi-sesi
berikutnya. Sampe ketemu. Mohon maaf lahir batin jika saya ada kesalahannya.
Insya Allah jika Saudara sudah baca buku the miracle dan mengikuti dengan baik
kuliah tauhid ini, pembahasan ini dan ke depan, sudah bukan hal baru lagi. Tapi
ga mengapa. Belajar memang jangan hanya sekali. Tapi harus berkali-kali hingga
pemahaman datang. Sengaja pembahasannya case by case. Judul per judul.
Supaya pemahaman Saudara, terstruktur.
Allahumma shallii ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ alaa aali Sayyidinaa
Muhammad. Allaahumma innaa nas-aluka ‘ilman naafi’an wa yaqiinan shaadiqan. Wa
‘amalan mutaqobbalan wa rizqan halaalan waasi’an mubaarakan thayyiban.
Allaahumma inna nas-alukal hudaa wat tuqoo wal ‘afaafa wal ghinaa.
Washallallaahu ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aali Sayyidinaa Muhammadin.
Walhamdulillaahi robbil ‘aaalamiin.Subhaanakallahumma wa bihamdika nasyhadu
al-laa-illaaha illallaah nastaghfiruka wa natuubu ilahi. Wassalaamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.